PENDAHULUAN
Jauh sebelum masuknya tradisi asing ke
Nusantara, masyarakat Indonesia diyakini telah memiliki tuntunan kaidah atau
aturan yang berlaku serta dipatuhi di masing-masing teritorialnya dan disebut
dengan hukum “adat”. Sebagai bangsa yang majemuk, karena terdiri dari perbedaan
(diferensiasi sosial) atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah,
serta agama, eksistensi kemajemukan dalam bingkai kebhinekaan bangsa
tersebutlah yang kian menjadi perhatian oleh para pemerhati ilmu sosial, tidak
terkecuali pula para pengkaji ilmu hukum. Sejalan dengan perkembangan paradigma
dalam ilmu pengetahuan pada abad ke-20 yang melahirkan pemikiran postmodern sebagai
bentuk kritik dan koreksi atas paradigma pemikiran modern yang sangat kental
dengan nuansa positivisme. Dalam ilmu hukum pun, kaum modernis melihat bahwa
hukum telah berpihak.[1]
Realitas sosial menunjukkan bahwa konsep “equality
before the law” yang begitu dihormati dan dibanggakan oleh negara-negara
yang mengaku demokratis, ternyata hanya sekadar retorika yang menyesatkan dalam
kehidupan sehari-hari.[2]
Dalam postmodern, peran “dominan budaya” menggantikan peran ekonomi yang begitu
kuat dalam pandangan modern yang berujud dalam dua kubu besar yang cenderung
bertentangan antara pendukung sosialisme dan kapitalisme. Para postmodernis
sendiri umumnya tidak suka dengan penyeragaman dan tidak suka pula pada
definisi atau pembatasan, akan tetapi lebih senang dan menerima perbedaan.
Karena itu konsep perbedaan (difference)[3]
menjadi salah satu konsep kunci (konsep penting) dalam pemikiran postmodern di
samping konsep-konsep lainnya.[4]
Namun demikian, semakin hari, semakin
banyak fenomena sosial di masyarakat, terkait dengan perlindungan terhadap
masyarakat adat, justru semakin memperlihatkan lemahnya perlindungan negara
terhadap masyarakat adat, khususnya dalam hal perlindungan hukum. Betapa publik
dikejutkan ketika mendengar kasus Mbok Minah,[5]
kasus pembakaran rumah warga adat Semende Agung di Bengkulu,[6]
penangkapan warga suku Sawai di Halmahera Tengah dan masih banyak lagi
kasus-kasus yang menunjukkan bahwa dalam kenyataan di lapangan bahwa telah
muncul konflik antara masyarakat adat dengan negara.
Di bawah logika sentralisme yang telah
ditanamkan oleh kolonialisme secara terstruktur dan masif, semakin menguatkan
akulturasi tradisi hukum sipil dimana proses pembuatan hukum sepenuhnya berada
di tangan institusi negara. Dengan adanya sentralisme hukum tersebut, akhirnya
muncul ideologi baru yang menekankan bahwa hukum seharusnya dilaksanakan
sepenuhnya oleh aparat negara secara formal, sementara hukum yang ada di luar
organisasi negara akan diabaikan karena keberadaannya yang tidak dapat
diterima.[7]
Belum ditambah lagi dengan kuatnya arus globalisasi yang semakin berusaha menembus
dimensi ruang dalam kehidupan bermasyarakat yang sebelumnya tersekat oleh
batas-batas teritorial suatu negara. Era modernitas yang tinggi tersebut
menuntut negara turut serta secara aktif dan sungguh-sungguh untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang vis a vis berhadapan dengan (i)
warisan tradisi hukum sipil yang bersifat sentralisme dan (ii) modernitas masyarakat yang sangat kental akan muatan
liberal-kapitalis. Mengapa demikian? Dalam era globalisasi ini, negara harus
mengendalikan perubahan/perkembangan sosial-budaya yang cepat di masyarakatnya
dengan cara menjadi penyeimbang (balancing)
antara tradisi lokal asli yang harus dipertahankan dan tradisi dari luar (asing)
yang baru datang yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sebagaimana
terkristalisasi dalam Pancasila. Karena Giddens telah memberikan peringatan
bahwa perubahan sosial yang cepat itu ibarat panser raksasa (juggernaut) yang dapat melaju dengan
kuat dan kencang, namun akan mengantarkan kita jatuh ke dalam jurang dan
kehancuran apabila tidak dikendalikan.[8]
Tulisan ini bertujuan untuk
mendiskusikan implementasi dan tantangan yang muncul dalam perlindungan hak
masyarakat adat oleh hukum (negara) yang awalnya hanya dalam bentuk pengakuan
dan penghormatan ke arah pelaksanaan kedaulatan adat. Tesis dalam tulisan ini
adalah bahwa masih banyak fenomena yang menunjukkan adanya pengabaian dan
pelanggaran hak masyarakat hukum adat, padahal konstitusi telah memberikan
jaminan pengakuan dan penghormatan kepada masyarakat hukum adat, sehingga
negara harus merumuskan aturan dan kebijakan (politik hukum) baru, tidak hanya
dalam rangka pengakuan dan penghormatan saja, melainkan juga untuk pengembangan
dan pelestarian masyarakat adat beserta dengan tradisi, budaya, dan hukum-nya.
HUKUM
(NEGARA) DAN (MASYARAKAT) ADAT
Apabila hendak membicarakan gejala hukum
dengan segala aspeknya maka mau tidak mau harus disinggung terlebih dahulu
mengenai masyarakat yang menjadi wadah dari hukum tersebut serta hubungan
antara keduanya. Secara alamiah (natural) manusia yang merupakan mahkluk sosial
berarti bahwa manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya yang
kemudian membentuk suatu komunitas-komunitas sosial untuk melangsungkan
hidupnya. Dalam kerangka sosialisasi tersebut, masing-masing individu kemudian
disadarkan bahwa kehidupan di dalam masyarakat itu sebetulnya berpedoman pada
suatu aturan atau norma atau kaidah yang oleh sebagian besar masyarakat
dipatuhi dan ditaati serta dijadikan pedoman.[9]
Hal inilah kemudian yang menarik perhatian para sosiolog untuk menjadikan hukum
sebagai objek penelitian yang khusus memusatkan perhatiannya pada struktur
sosial, proses-proses sosial, perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat-masyarakat
tertentu. Hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut
tertentu, sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi dan sebagainya.[10]
Modernisasi masyarakat telah
mengakibatkan terjadinya perubahan paradigma berpikir yang dimotori oleh
gerakan postpositivisme. Perkembangan demikian kemudian melahirkan model-model
alternatif penalaran di luar model positivisme hukum, khususnya dalam ilmu-ilmu
empirisme hukum seperti sosiologi hukum (Sosiology
of Law),[11] sejarah
hukum, dan antropologi hukum. Sosiologi hukum membuka mata para teoritisi dan
filsuf hukum tentang eksisnya dimensi hukum yang hidup (living law), sehingga nilai-nilai kemanfaatan, sebagai salah satu
tujuan hukum, menjadi penting diakomodasi dalam berhukum. Sejarah hukum dan
antropologi hukum juga memberikan andil, antara lain, dengan memberikan tempat
pada sumber-sumber alternatif hukum di luar hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan) sehingga hukum adat yang digali dari tradisi lokal terbukti
telah memperkaya khazanah sumber hukum di semua negara. Berdasarkan penggalian
nilai yang bersumber pada nilai yang hidup dalam masyarakat itu pula lahirlah
Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa Indonesia yang digali dalam bumi
Indonesia dan kalbu rakyat Indonesia.[12]
Para pendiri bangsa (the founding people)[13]
dalam diskursus pembuatan cetak biru (blue
print) negara ini, sadar bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia yang telah
eksis di masing-masing daerah tersebut akan memperkuat persatuan dan kesatuan
bangsa dalam kerangka bhineka tunggal ika.
Hal tersebut, yang salah satunya, kemudian
menjadi alasan kuat mengapa the
founding people memutuskan bentuk
negara kita adalah negara kesatuan (bukan federal).[14]
Dalam kenyataannya, hukum harus dipahami
sebagai sesuatu yang memiliki validitas polisentris,[15]
validitas hukum tidak hanya terbatas pada tindakan, aturan, dan keputusan
pengadilan, di mana peran negara tidak dapat dihindari (seperti biasa ditemukan
dalam logika realisme hukum), tetapi harus diperluas mencakup norma-norma
sosial apa pun yang teramati, diciptakan dan dipertahankan di dalam sebuah
komunitas masyarakat. Inilah yang dapat dipahami dari tokoh-tokoh lama “aliran
polisentris”[16] semisal
Ehrlich, Malinowski, Gurvitch, Hoebel, Gluckman, Bohannan, Pospisil, dan
lain-lain[17] yang
kemudian mendorong lahirnya pandangan aliran pluralisme hukum (legal pluralism) yang merefer pada
eksistensi beberapa aturan hukum dalam satu teritori yang sama.[18]
Adanya pengembangan legal pluralism
lebih lanjut memberikan pemahaman bahwa kebenaran fenomena hukum tidak hanya
dipahami dalam hal keragaman bentuknya, tapi juga keragaman sumbernya. Sebuah
sistem hukum diartikan sebagai suatu susunan (a body) yang diaplikasikan oleh sebuah entitas, serta juga kelompok
entitas dalam sutu konteks yang spesifik. Kata “sistem” di sini meningkatkan
presepsi kedinamisan, tetapi hukum sendiri secara internal sudah bersifat
dinamis sejak awalnya.[19]
Selain institusi negara (formal) yang memiliki keabsahan monopoli penggunaan
kekuasaan, agama dan adat kebiasaan juga diterima sebagai produsen hukum yang
masing-masing saling berdampingan dalam membentuk sebuah sistem hukum nasional.
Oleh karena itu, penerimaan terhadap pluralisme hukum dalam negara yang
multikultural, seperti Indonesia, tampaknya merupakan kesimpulan yang tidak
dapat dihidari lagi. Bahkan negara pun harus mengakui adanya keterbatasan dari
(sekaligus resistensi terhadap) hukum resmi, karena hukum agama dan adat
kebiasaan telah dianggap sebagai faktor determinan dalam efektivitas hukum di
masyarakat modern.
MASYARAKAT (HUKUM) ADAT
DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Pengaturan dalam Konstitusi
Secara singkat, masyarakat hukum adat menurut
kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan
kekayaan sendiri baik benda-benda materiil maupun immateriil.[20]
Sedangkan di sisi lain, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State of
1933[21], salah satu unsur dari negara adalah adanya “a permanent population”, yaitu
sekumpulan manusia yang mendiami teritorial tertentu sehingga merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang diatur oleh tata hukum nasional.[22]
Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka
bumi yang sama maka secara tertutup atau terbuka akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang
terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama.[23]
Sudah barang tentu, dalam kompetisi ini masyarakat hukum adat akan selalu
kalah, karena harus berhadapan dengan entitas politik yang memiliki kekuatan (power) jauh lebih besar, yang dengan
kekuatan tersebut bertujuan, antara lain, adalah untuk penguasaan terhadap
seluruh rakyat dan sumber daya di dalam wilayahnya, serta dilengkapi dengan
suatu pemerintahan yang didukung oleh aparat penegak hukum didalamnya. Hal tersebut yang mendorong
adanya perjuangan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat termasuk dalam
konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Sejak konstitualisme menghendaki
adanya positivisasi hak asasi ke dalam norma konstitusi sebagai salah satu
elemen kesepakatan (consensus) yaitu
tentang rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the
basis of government)[24]
maka pada saat itu pula hak-hak masyarakat adat mulai dibukukan dalam teks-teks
konstitusi. Dalam pandangan HLA Hart, positivisasi hak-hak masyarakat merupakan
upaya untuk mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan
bernegara (secondary rules) dengan
hukum asli yang ada di dalam komunitas masyarakat (primary rules).[25]
Dengan mengikuti alur pikir positivisme hukum di atas maka keberadaan
masyarakat adat beserta segala hak yang menyertainya sangat bergantung pada
teks-teks hukum tertulis yang dibuat oleh institusi yang berwenang (negara).
Mayoritas negara-negara dunia ketiga[26]
yang bercorak agraris kemudian memasukkan pengaturan terhadap pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat dan hak ulayat di dalam konstitusinya. Indonesia
sebagai salah satunya, dalam proses pembahasan komprehensif rancangan UUD asli,[27]
meskipun merupakan konstitusi sementara yang kilat dan revolusioner,[28]
sejak awal the founding people sadar
bahwa negara Indonesia merupakan negara yang heterogen dan terdiri dari daerah
yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri.[29]
Hal tersebut yang kemudian mendorong dicantumkannya ketentuan menyangkut
masyarakat adat dalam Pasal 18 UUD asli[30]
yang secara tekstual malah termaktub dalam bagian Penjelasan pasal a quo,[31]
walaupun pada pokoknya hanya mendeskripsikan heterogenitas daerah-daerah yang
masih eksis dengan adatnya masing-masing tanpa secara tegas memberikan
penafsiran mengenai bagaimana perlindungan (substansi) serta dalam bentuk
peraturan apa ketentuan mengenai masyarakat adat tersebut harus diatur
(formal). Ketentuan Pasal 18 UUD asli tersebut dinilai terlalu sederhana dan
tidak jelas sehingga menjadi salah satu alasan dilakukannya amandemen terhadap
Pasal 18 a quo di awal era reformasi
bergulir.[32]
Berdasarkan proses amandemen yang kemudian melahirkan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945[33]
tersebut, diharapkan semakin menguatkan dan menegaskan pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat dari sebelum-sebelumnya karena ketentuan yang semula
hanya berstatus sebagai penjelasan tersebut telah “dinaikkan kelasnya” menjadi
bagian dari batang tubuh konstitusi. Namun demikian, walaupun dinilai sebagai
bentuk kemajuan, patut disayangkan bahwa proses pembahasan yang tidak hanya
melibatkan para legislator handal di negeri ini, melainkan juga dengan
melibatkan para ahli Pengakuan dan
penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan di bawah
Undang-Undang.
B.
Pengaturan
dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dimulai dari Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang secara eksplisit
memuat pengaturan mengenai masyarakat adat beserta (hukum) adatnya. Ketentuan
yang demikian itu secara tekstual diatur dalam Pasal 5 UUPA[34]
yang dalam literatur-literatur mengenai hukum agraria di Indonesia menjadi
primadona khususnya bagi para pendukung hukum adat. Betapa tidak, dengan
berlakunya pasal a quo maka secara tidak langsung, bangsa Indonesia semakin percaya
diri dalam memperkuat identitas asli bangsa Indonesia yang tercermin dari
penerapan hukum adat sebagai hukum agraria nasional di tengah-tengah jaman
dimana intervensi asing dengan modal yang tak kunjung henti mencoba membanjiri
negara ini dengan keserakahan dan ketamakan akan penguasaan terhadap sektor
sumber daya alam Indonesia.[35]
Namun demikian, bak buah simalakama, cita-cita luhur untuk membangun konsep
hukum agraria ala asli Indonesia itu
juga berujung pada ketidakberdayaannya melawan arus kapitalisme dan
liberalisme. Bahkan, UUPA telah menjadi alat untuk menghalalkan perampokan atas
hak milik masyarakat adat, lagi-lagi dengan dalih bahwa negara memiliki hak
monopoli atas pengertian “tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara serta peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”[36]
Hampir semua peraturan
perundang-undangan yang memuat pengaturan mengenai masyarakat (hukum) adat
menetapkan syarat bahwa keberadaan masyarakat adat harus dengan syarat yang
masih diakui serta tidak bertentangan dengan kepentingan negara yang
pemaknaannya merupakan monopoli dari negara sebagai penafsir tunggal. Misalnya
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Tidak ada
batasan-batasan yang digunakan sebagai pedoman (guidance) penggunaan tafsir oleh negara (penguasa) tersebut yang
bisa jadi ketika penguasa berpihak pada kepentingan pemodal, keberadaan
pasal-pasal yang demikian malah justru menjadi justifikasi bagi penguasa untuk
merampas hak masyarakat hukum adat.
Selain itu, banyak undang-undang lain
yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai masyarakat adat, khususnya terkait
dengan pengertian dari masyarakat adat tersebut. Misalnya dalam Penjelasan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan,[37] dan
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.[38]
Dari dua pengertian mengenai masyarakat hukum adat tersebut, muncul
permasalahan selanjutnya, yaitu mengenai mekanisme pengakuan terhadap keberadaan
(eksistensi) masyarakat hukum adat. Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah
yang dimulai pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 serta dorongan dari
TAP MPR No. IX/MPR/2011,[39]
maka sejak itu pula kewenangan untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat
hukum adat itu diserahkan kepada daerah masing-masing untuk menilainya dan
dituangkan dalam produk peraturan daerah sebagaimana yang secara tegas tertuang
dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.[40]
Otonomi daerah sebagai respon terhadap tuntutan perubahan atas pola kebijakan
negara yang sebelumnya sangat sentralistik diharapkan akan memberdayakan daerah
secara lebih maksimal. Namun, permasalahan mengenai eksistensi masyarakat adat
ini tidak menjadi selesai begitu saja dengan adanya peralihan kewenangan dari
pusat kepada daerah tersebut. Dalam implementasinya, eksistensi masyarakat adat
tersebut menjadi sangat bergantung pada belas kasih politik pemerintahan lokal
yang ada di masing-masing daerah. Tidak adanya tuntunan yang menyamakan
pemahaman akan mekanisme pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat ini
menimbulkan konsekuensi bahwa apabila ada penguasa di suatu daerah yang secara
politis melihat keberadaan masyarakat adat ini malah mengganggu pembangunan
daerah atau tidak terdapat afiliasi terhadap kredo kepentingan politik yang
sama dengannya maka penguasa akan selalu menutup mata terhadap keberadaan
masyarakat adat di daerahnya dan pemerintah pusat pun malah akan kesulitan
untuk melakukan intervensi terhadap daerah.
Namun demikian, tidak semua peraturan
perundangan-undangan di Indonesia yang menegasikan keberadaan masyarakat adat.
Dorongan terhadap pembentuk Undang-Undang untuk lebih meningkatkan perhatian
kepada masyarakat adat ini terus bergulir, baik dari internal pemerintah
sendiri maupun dari organisasi-organisasi kemasyarakatan yang concern terhadap
perlindungan dan pelestarian masyarakat adat di Indonesia. Hal tersebut nampak
dalam ketentuan yang termuat dalam Penjelasan butir f Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memberikan jaminan keterlibatan
masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, termasuk masyarakat adat.
Begitu pula dengan pengecualian dalam pembayaran pajak terkait dengan
pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.[41]
Dengan demikian, Permasalahan utama yang
ada dalam perlindungan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan
ini adalah tidak terdapat ketentuan yang secara konkrit mewakili kepentingan
masyarakat hukum adat. Ketentuan yang ada hanya bersifat mengakui dan
menghormati masyarakat-masyarakat adat yang masih ada tanpa dijelaskan lagi
mekanisme pengakuannya, sehingga pengakuan dan penghormatan yang diberikan oleh
pembentuk Undang-Undang tersebut hanyalah sebuah kamuflase yang pelan-pelan
dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan entitas-entitas yang bersifat
tradisional dan sederhana itu dengan dalih adanya tuntutan modernisasi dan
globalisasi yang sarat dengan nuansa kapitalis liberalistik, bukan malah
melestarikan atau setidak-tidaknya melindungi eksistensi masyarakat tersebut.
Atau secara a contrario, berdasarkan
dalih untuk kepentingan umum berbasis paradigma pembangunanisme yang memihak
pada golongan pemodal, baik dalam negeri maupun swasta, maka
ketentuan-ketentuan yang memuat masyarakat adat dalam peraturan
perundang-undangan tersebut hanya menjadi mitos bagi keberpihakan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat.
Keadaan di awal era kemerdekaan sampai
dengan tahun 1960, dimana hukum adat dijadikan landasan hukum nasional yang
berpihak kepada kepentingan masyarakat karena situasinya harus berhadapan
dengan hukum barat yang mendukung kepentingan modal asing, telah menjadi mitos.
Konsep penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan lama yang terkandung di
dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat telah menjadikan
negara sebagai pemeran utama dalam pembangunan nasional. Namun seiring dengan
perkembangannya, dengan alibi bahwa negara tidak mampu mengelola sendiri
sehingga membutuhkan bantuan dari sektor swasta (pemilik modal), sesungguhnya
telah terjadi perubahan secara substantif yaitu negara dan para pemodal yang
menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu,
sudah tidak terkira pengorbanan masyarakat hukum adat yang telah dipinggirkan
hak-haknya demi melayani kepentingan negara dan para pemodal tersebut. [42]
Sejak semula sikap pembentuk
Undang-Undang sendiri menerima hukum adat tetapi dengan menetapkan persyaratan
yang ambigu seperti halnya syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 UUPA di
atas. Kekaburan itu menunjukkan adanya keraguan dan ketidakpastian, terutama
negenai kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern. Hukum
adat dianggap hanya cocok bagi masyarakat yang sederhana. Selain itu, sejarah
kehidupan hukum adat di Indonesia tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan
masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal
menimbulkan pandangan negatif tersendiri bagi pembentuk Undang-Undang dalam
menggali nilai-nilai (hukum) adat yang telah lama hidup di masyarakat. Oleh
karena itu, memang tidak semua hukum adat dapat dijadikan sebagai landasan
pembangunan hukum nasional namun juga tidak berarti bahwa hukum adat sama
sekali tidak dijadikan pertimbangan utama dalam membentuk politik hukum
nasional.
C. Putusan Mahkamah Konstitusi
Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian Of Human Rights juga
memberikan secercah harapan bagi para pencari keadilan khususnya yang berkaitan
dengan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat. Bermula dari
diberikannya kedudukan hukum (legal
standing)[43] bagi
masyarakat hukum adat untuk mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945, sehingga masyarakat hukum adat yang merasa hak konstitusional (termasuk
pula hak adat) nya dilanggar oleh suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang dapat
meminta keadilan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, lagi-lagi masih juga harus
memenuhi syarat-syarat tertentu[44]
terlebih dahulu agar kesatuan masyarakat hukum adat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi karena tidak semua
masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan hukum dalam pengujian Undang-Undang.
Walaupun terkesan berat bagi sebuah masyarakat yang tradisional dan masih
sangat sederhana, namun penulis berharap dengan meningkatnya taraf kehidupan
manusia, maka masyarat hukum adat pun dapat “melek hukum” dan mengerti akan
bagaimana cara mempertahankan hak konstitusionalnya di hadapan Majelis Hakim
Konstitusi.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010[45]
telah mencoba menggali dan menemukan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
dengan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum frasa “penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah
tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan pernundang-undangan” dalam
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan beserta
Penjelasannya dan ketentuan pidana yang menyertainya. Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa:[46]
“Masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik
sangatlah beragam sehingga penyelesaiannya seharusnya menurut
pertimbangan-pertimbangan keadaan yang berbeda: kapan munculnya persoalan
tersebut?; apakah pendudukan tanah tersebut merupakan cara memperoleh tanah
menurut hukum adat?; apakah pendudukan tersebut karena keadaan darurat telah
diijinkan oleh penguasa?; apakah pendudukan tersebut disebabkan batas wilayah
penguasaan secara hukum adat dengan wilayah yang dikuasai langsung oleh negara
tidak jelas?. Kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang
baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara
wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak
baru yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
Dengan demikian penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang
menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah
atas dasar ipso facto. Artinya seseorang membuka, mengerjakan dan memanen
hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara
intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah
semakin intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah.
Adapun pemberian hak-hak baru dalam bentuk hak guna usaha atau hak pakai
berdasarkan ipso jure, yang mendasarkan diri pada ketentuan perundangundangan.”
Selain itu, dalam
perkara Nomor 35/PUU-X/2012[47]
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
Mahkamah Konstitusi juga berperan dalam melindungi hak masyarakat hukum adat.
Pada pokoknya, terdapat 2 (dua) permasalahan utama yang harus dijawab oleh
Mahkamah, pertama, mengenai hutan
adat dan kedua mengenai pengakuan
bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat. Putusan itu mengabulkan
permohonan berkaitan dengan hutan adat, namun menolak permohonan untuk
menghapuskan syarat-syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat yang terdapat
di dalam UU Kehutanan. dalam pertimbangannya, menurut Mahkamah Konstitusi, UU
Kehutanan yang selama ini memasukan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara
merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan merupakan
pelanggaran konstitusi. Peryataan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian
semestinya membuat pemerintah semakin sadar untuk memulihkan hak-hak masyarakat
adat yang selama ini ‘dirampas’ atau diabaikan. Selain itu, hutan adat
dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara
kemudian dimasukan sebagai bagian dari kategori hutan hak.
Dalam pertimbangan
hukum selanjutnya, terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat
hubungan hukum antara subjek hukum dengan hutan. Mahkamah Konstitusi kembali
menegaskan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Kehutnan telah memperlakukan
masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait
dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain. Hal tersebut dapat dilihat
dari slah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
“Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU
Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah
yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas
hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi
masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah
maupun hutan.”
Perlakuan yang berbeda
terhadap masyarakat adat itulah yang juga menjadi dasar bagi MK untuk
menyatakan bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hak masyarakat adat atas
hutan. Selain itu, prinsip ini juga mempertegas status hutan yang terdiri dari
hutan negara, hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Prinsip ini
merupakan prinsip penguasaan vertikal dimana pihak yang menguasai tanah maka
dia juga menguasai hak-hak yang ada di atas tanah.
Namun demikian,
Mahkamah Konstitusi menolak dalil permohonan Pemohon terkait dengan
permasalahan mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat.
Inilah yang sekaligus menjadi kritik oleh penulis bagi lembaga pengawal
konstitusi ini. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa masyarakat adat merupakan
subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Keberadaan masyarakat adat
haruslah tunduk kepada batasan-batasan yang ditentukan di dalam konstitusi
antara lain masyarakat adatnya masih ada, selaras dengan perkembangan zaman dan
tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus
dimaknai bahwa keberadaan masyarakat adat bukan untuk memisahkan diri dari
republik Indonesia, serta pengaturan terkait subjek hukum masyarakat adat,
kriteria dan tata caranya diatur berdasarkan Undang-Undang. Seharusnya Mahkamah
Konstitusi dapat memberikan putusan kondisional bersyarat (conditionally constitutional) dengan mempertimbangkan bahwa masalah
utama yang belum terpecahkan sampai saat ini adalah mekanisme pengakuan bagi
masyarakat hukum adat, serta kedudukannya dalam hukum positif di Indonesia.
Karena apabila mengikuti konstruksi peraturan perundang-undangan yang sudah ada
saat ini, maka mekanisme tersebut diserahkan kepada daerah dalam bentuk
peraturan daerah yang, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut
tidak akan menyelesaikan masalah. Perlindungan terhadap hak masyarakat hukum
adat harus dikonstruksikan dalam kebijakan affirmative
action, karena sekalipun pembangunan fisik telah menjadi bagian dari
kegiatan keseharian masyarakat Indonesia, namun dibutuhkan pedoman (guidance) yang mengawasi dan mencegah
segala bentuk penindasan terhadap kaum masyarakat yang dalam posisi kurang
menguntungkan. Dan segala upaya yang
telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya tersebut
masih dalam lingkup kewenangan konstitusi, dengan perkataan lain, masih
dibutuhkan pemahaman dan kemauan dari para pembentuk Undang-Undang dan penegak
hukum untuk menindaklanjutinya agar segera terwujud suatu tatanan baru dalam
bidang penegakan hak masyarakat hukum adat yang lebih menjamin kepastian hukum
dan keadilan sesuai dengan konstitusi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Carut marutnya tata perundangan di
negara kita ternyata sangat berimbas pada perlindungan hak masyarakat hukum
adat. Masyarakat hukum adat yang sangat kental dengan kehidupan tradisional dan
sederhana dipaksa untuk masuk ke arena modernisasi untuk berhadapan dengan
kuatnya arus globalisasi yang bernuansa kapitalis-liberalistik. Dalam keadaan
yang demikian, negara yang diharapkan mampu menjadi “wasit” yang adil dalam
pertarungan tersebut malah bersikap membela salah satu pihak. Negara memang
dalam posisi memilki keinginan (political
will) untuk terjun langsung menjadi “wasit” dengan menentukan aturan main
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan mengenai
masyarakat hukum adat. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaannya, “kepemimpinan
wasit” di lapangan sangat berpihak pada para pemilik modal dengan dalih untuk
semata-mata kepentingan umum. Era otonomi yang meningkatkan peran daerah untuk
mengelola daerahnya juga belum menyelesaikan masalah perlindungan terhadap hak
masyarakat hukum adat, karena malah akan digantungkan pada politik lokal yang
sarat dengan kepentingan masing-masing penguasa di daerah. Selain itu, uapay
yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya masih
dalam rangka menyediakan “gerbang” akses terhadap perlindungan hak masyarakat
hukum adat. Sedangkan dalam implementasinya masih dibutuhkan kebijakan dari stakeholders untuk melaksanakannya.
B. Saran
Dengan demikian, diperlukan formulasi
lebih lanjut dalam hal peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kedudukan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang tidak hanya bersifat
formal, melainkan lebih mengedepankan sisi substasinya, apakah sudah mengandung
rasa keadilan, kepastian ataukah kemanfaatan? Sehingga menurut hemat penulis,
perlu dibentuk Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat di Indonesia yang
secara khusus akan mengatur mengenai kedudukan dan perlindungan masyarakat
hukum adat. Selain itu, karena belum optimalnya perlindungan dalam hukum
positif di Indonesia maka peran para penegak hukum khususnya hakim menjadi
sentral dalam menghadapi masalah-masalah yang terkait langsung dengan
masyarakat hukum adat dengan cara menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sesuai dengan semangat menghidupkan "the living law" sejalan dengan yang digaungkan oleh konseptornya, Eugen Ehrich.
[1]
Dominasi era modern yang secara
tradisional menekankan pada semangat positivisme ala Auguste Comte, membawa dampak
yang luar biasa kepada ilmu hukum itu sendiri. Hukum telah terbiasa
dipersepsikan secara mekanistis, sebagai sarana yang objektif dan stabil. Hal
ini di satu sisi akan menjamin nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain, juga
menggerogoti nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Untuk lebih memperjelas
perbandingan antara era modern dengan era postmodern, lihat Akhyar Yusuf Lubis,
Postmodernisme Teori dan Metode,
2014, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 9-14.
[2]
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, 2013, Yogyakarta, Genta
Publishing, hlm. 55.
[3]
Penekanan pada perbedaan, keberagaman,
anti-esensialitas ini sebagai cara berpikir yang berbeda dari cara berpikir
yang mengutamakan universalitas, kesatuan dan esensialitas yang sangat dominan
pada paradigma modern.
[4]
Akhyar Yusuf Lubis, Ibid, hlm. 15.
[5]
Kasus nenek Minah (50 tahun), warga
Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, sempat
menghebohkan panggung hukum (pidana) di negeri ini lantaran diancam hukuman 7
tahun penjara (pasal 362 KUHP tentang Pencurian) karena dituduh mencuri 3
(tiga) buah biji kakao yang sudah jatuh dari pohonnya di perkebunan milik PT.
Rumpun Sari Antan (RSA). Padahal kebiasaan atau budaya masyarakat di sana
menganggap bahwa mengambil kakao yang sudah jatuh dari pohonnya adalah hal yang
biasa dan bukan merupakan perbuatan tercela. Akhirnya ia divonis hukuman
percobaan penjara 1 bulan 15 hari oleh majelis hakim.
[6]
Kasus pengusiran masyarakat adat yang
tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Suku Marga Semende oleh
Polisi Hutan pada operasi gabungan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
pada Desember 2013 lalu karena dianggap sebagai perambah hutan yang dilindungi
oleh negara, kendati faktanya, suku ini sudah beranak pinak sejak status taman
nasional ini belum disandang oleh Bukit Barisan pada tahun 1982 silam.
[7]
Ratno Lukito, Sacred and Secular Law: A Study of Conflict and Resolution in Indonesia
yang diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dengan judul Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi
dalam Sistem Hukum Indonesia, 2008, Tangerang, Pustaka Alvabet, hlm. 149.
[8]
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 6th Edition
diterjemahkan oleh Alimandan dengan judul Teori
Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana, hlm. 552.
[9]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 2007,
Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 2.
[10]
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, 2010, Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 1.
[11]
Secara historis, di benua Eropa telah
tumbuh satu cabang sosiologi yang disebut dengan sosiologi hukum (Sosiology of Law), sedang di Amerika
Serikat yang sangat cenderung menunjukkan penelitian pada masalah praktis dari
tata tertib hukum, telah tumbuh pula satu ilmu hukum sosiologis hukum (Sociological Jurispurdence). Lihat Alvin S. Johnson, Sosiology of Law, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora dengan judul Sosiologi Hukum, 2006, Jakarta, PT.
Rineka Cipta, hlm.1.
[12]
Lihat pidato Bung Karno pada penutupan
seminar Pancasila tanggal 20 Februari 1959 di Yogyakarta dalam Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno,
2006, Yogyakarta, Media Pressindo, hlm. 349.
[13]
Meminjam istilah yang digunakan oleh
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD yaitu “founding
people” karena penulis sepakat bahwa perjuangan dalam upaya memerdekakan
serta memberikan landasan yang kokoh bagi Negara Indonesia adalah dilandasi
oleh semangat, cita-cita dan pemikiran seluruh elemen bangsa saat itu yang
tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh (tidak hanya laki-laki/bapak-bapak) yang
berperan aktif menyusun struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelang
datangnya hari kemerdekaan yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juncto
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga terdiri atas tokoh
perempuan seperti Maria Ulfa Santoso dan Ny. R. S.S Soenarjo Mangoenpoespito.
[14]
Menurut M.Yamin, bentuk negara kesatuan
diperlukan untuk memperkuat Indonesia yang dimerdekakan dengan jalan revolusi,
federalisme hanya akan melemahkan Indonesia.M.Yamin juga mengungkapkan bahwa
ide negara kesatuan sudah muncul sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928,
karena telah ada kebulatan tekad seluruh pemuda Indonesia tentang adanya satu
bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Hal tersebut yang kemudian disepakati
dalam rumusan konstitusi Indonesia dan tetap dipertahankan dalam proses
amandemennya.
[15]
Retno Lukito, Op.cit, hlm. 7.
[16]
Para penganut paham ini meyakini bahwa
hukum negara bukanlah satu-satunya fakta normative karena terdapat hukum-hukum
lainnya selain hukum negara modern dan melahuir pandangan pluralistik mengenai
hukum.
[17]
Ratno Lukito, Legal Pluralism in Indonesia: Bridging the Unbridgeable, 2013, New
York, Routledge, hlm. 4.
[18]
James A. R. Nafziger, Robert K.
Paterson, Alison D. Renteln, Cultural Law
(International, Comparative, and Indigenous), 2010, Cambrigde University
Press, hlm. 200.
[19]
Werner Menski, Comparative Law in a Global Perspective: The Legal System of Asia and
Africa, 2nd Edition, 2006, Cambrigde University Press, hlm. 183.
[20]
B Ter Haar Bzn dalam Soerjono Soekanto,
2010, Op.cit, hlm. 93.
[21]
Pasal 1 konferensi internasional yang
disahkan pada tanggal 26 Desember 1933 ini telah diterima dan dianggap sebagai
unsur-unsur yang umum sebagai prasyarat adanya suatu negara menurut hukum
internasional, menentukan bahwa negara harus memiliki unsur yang terdiri dari (i) a permanent population; (ii) a defined
territory; (iii) a government; and (iv) a capacity to enter into relations with
other States. Lihat Huala Adolf, Aspek-Aspek
Negara Dalam Hukum Internasional, 2002, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
hlm. 2.
[22]
Hans Kelsen, General Theory of Law and State yang diterjemahkan oleh H. Somardi,
Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar
Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, 2007, Jakarta,
Bee Media Indonesia, hlm. 286.
[23]
Saafroedin Bahar dan Ruswiati
Suryasaputra, Perlindungan Hukum Bagi
Masyarakat (Hukum Adat) Berdasarkan UUD NRI, 2012, Jurnal HAM, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Vol. 8, hlm. 4.
[24]
William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, third edition, 1968, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia,
2010, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 21.
[25]
HLA Hart, The Concept of Law, Second
Edition, 1994, Oxford, Clarendon Press, hlm. 95.
[26]
Ada perbedaaan mendasar antara bangunan
negara-negara di Eropa dengan dasar pembangunan negara-negara dunia ketiga.
Menurut Roberto Mangabeira Unger, negara modern di Eropa dibangun di atas
ambruknya tatanan sosial lama sekaligus sebagai upaya untuk menampung aspirasi
liberal individual. Sedangkan negara-negara dunia ketiga merebut kemerdekaan
dari kolonial untuk membuat negara baru. Oleh karenanya, bagi negara-negara
dunia ketiga, tatanan sosial lama tidak benar-benar ambruk, melainkan tatanan
itu menjadi dasar bagi pembangunan negara baru, salah satunya adalah hukum
adat.
[27]
Penulis menggunakan istilah “UUD asli”
untuk merujuk pada UUD 1945 yang disusun oleh the founding people paska-penjajahan, yang rancangannya disiapkan
oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk
kemudian disahkan oleh Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18
Agustus 1945.
[28]
Pembahasan UUD asli ini hanya dilakukan
dalam waktu 20 hari kerja. Jelaslah bahwa prioritas para pendiri negara ini adalah
bagaimana memiliki sebuah konstitusi minimalis, sekedar untuk memenuhi syarat
dasar kemerdekaan Indonesia. Sifat sementara dari UUD asli a quo tersurat dalam ayat (2) Bab Aturan Tambahan UUD asli, yang
mengharuskan dalam 6 (enam) bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat
terbentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD yang baru, yang lebih
lengkap dan demokratis. Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, hlm. 48.
[29]
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, 2007,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 8.
[30]
Pasal 18 UUD asli menyatakan, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa”.
[31]
Penjelasan Pasal 18 UUD asli
menyatakan, “Dalam territoir
Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati
hak-hak asal-usul daerah tersebut”. Istilah zelfbesturendelandchappen merujuk pada daerah-daerah yang memang sejak
semula telah memiliki sistem pemerintahan sendiri dan tetap eksis seperti
kesultanan jogjakarta, sedangakan istilah volksgemeenschappen
mengacu pada daerah-daerah adat seperti, antara lain, “desa” di Jawa dan
Bali, “negeri” di Minangkabau, serta “dusun” dan “marga” di Palembang.
[32]
Pasca jatuhnya rezim otoriter Orde
Baru, pelaksanaan amandemen konstitusi telah menjadi suatu keniscayaan. Proses
amandemen ini dilakukan dalam 4 (empat) tahap yang masing-masing disahkan pada
tanggal 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 November 2001, dan 10 Agustus
2002. Khusus mengenai proses perubahan dan penambahan terhadap Pasal 18
termasuk dalam tahap kedua (18 Agustus 2000) yang menghasilkan Pasal 18, Pasal
18A, dan Pasal 18B.
[33]
Pasal 18B ayat (2) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
[34]
Pasal 5 UUPA menyatakan, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
[35]
Keadaan dimaksud tergambarkan, salah
satunya, menurut keterangan pemerintah sebagai jawaban atas pandangan Anggota
DPR-GR tanggal 14 September 1960, ketika RUUPA dibahas, dikatakan bahwa, “Rancangan UUPA selain akan menumbangkan
puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan
tenaga bangsa Indonesia hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa tanah
antara rakyat dan kaum pengusaha asing dengan aparat-aparatnya yang
mengadudombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri.” Lihat
Boedi Harsono, Hukum Agrari: Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 1991, hlm. 57.
[36]
Keharusan akan terpenuhinya persyaratan
terhadap perlindungan masyarakat adat juga tercermin dalam Penjelasan Umum UUPA
yang menyatakan, “Dengan sendirinya Hukum
Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat
banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat,
maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan
hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan
dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan
dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.”
[37]
Penjelasan Pasal 7 UU 18/2013
menyatakan, “Masyarakat hukum
adat adalah masyarakat
tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan
dalam bentuk pranata dan
perangkat hukum adat
yang masih ditaati,
dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya
dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.”
[38]
Pasal 1 angka 6 UU 39/2014 menyatakan,
“Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok
orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah, sumber daya alam yang memiliki
pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.”
[39]
TAP MPR No. IX/MPR/2011 ditujukan untuk
mendorong kembali adanya pembaruan sektor agraria dengan prisip mengakui,
menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
bangsa atas sumber daya alam Indonesia. [vide pasal 4 huruf j]
[40]
Pasal 5 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, “Penelitian dan penentuan masih adanya hak
ulayat sebagaimana dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah.”
Sedangkan Pasal 6 menyatakan, “Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang
bersangkutan.”
[41]
Pasal 48 ayat (2) PP 65/2001 telah memberikan
pengaturan bahwa tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan
hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam
rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan.
[42]
Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, 2012, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 136.
[43]
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007, tanggal 18 Juni 2008.
[44]
Selain harus membuktikan diri sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi berserta perubahannya, masyarakat hukum adat
juga harus memenuhi 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana telah
ditentukan Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya.
[45]
Perkara ini dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya karena Pemohon yang secara faktual berdomisili di wilayah
perkebunan dan memiliki lahan di sekitar wilayah perkebunan sering kali
terlibat konflik dengan perusahaan perkebunan dan dipidana karena telah masuk
ke perkebunan tanpa izin pemiliknya (perusahaan).
[46]
Lihat bagian Pendapat Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010, bertanggal 19 September 2011, hlm.
102-103.
[47] Perkara
ini dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi
Riau dan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3),
Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan karena sangat bertentangan dengan Pengakuan dan penghormatan
terhadap masyarakat hukum adat sebagai kelompok masyarakat otonom disadari oleh
dunia yang terbukti dari ketentuan yang ada dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Masyarakat adat
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dan dalam melaksanakan hak atas
penentuan nasib sendiri, memiliki hak atas otonomi atau pemerintahan sendiri
dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan internal dan lokal mereka,
juga dalam cara-cara serta sarana dan prasarana untuk mendanai fungsi-fungsi
otonom yang mereka miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar