Sabtu, 02 Januari 2016

PROBLEMA HUKUM PERLINDUNGAN ATAS HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Jauh sebelum masuknya tradisi asing ke Nusantara, masyarakat Indonesia diyakini telah memiliki tuntunan kaidah atau aturan yang berlaku serta dipatuhi di masing-masing teritorialnya dan disebut dengan hukum “adat”. Sebagai bangsa yang majemuk, karena terdiri dari perbedaan (diferensiasi sosial) atas berbagai suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah, serta agama, eksistensi kemajemukan dalam bingkai kebhinekaan bangsa tersebutlah yang kian menjadi perhatian oleh para pemerhati ilmu sosial, tidak terkecuali pula para pengkaji ilmu hukum. Sejalan dengan perkembangan paradigma dalam ilmu pengetahuan pada abad ke-20 yang melahirkan pemikiran postmodern sebagai bentuk kritik dan koreksi atas paradigma pemikiran modern yang sangat kental dengan nuansa positivisme. Dalam ilmu hukum pun, kaum modernis melihat bahwa hukum telah berpihak.[1] Realitas sosial menunjukkan bahwa konsep “equality before the law” yang begitu dihormati dan dibanggakan oleh negara-negara yang mengaku demokratis, ternyata hanya sekadar retorika yang menyesatkan dalam kehidupan sehari-hari.[2] Dalam postmodern, peran “dominan budaya” menggantikan peran ekonomi yang begitu kuat dalam pandangan modern yang berujud dalam dua kubu besar yang cenderung bertentangan antara pendukung sosialisme dan kapitalisme. Para postmodernis sendiri umumnya tidak suka dengan penyeragaman dan tidak suka pula pada definisi atau pembatasan, akan tetapi lebih senang dan menerima perbedaan. Karena itu konsep perbedaan (difference)[3] menjadi salah satu konsep kunci (konsep penting) dalam pemikiran postmodern di samping konsep-konsep lainnya.[4]
Namun demikian, semakin hari, semakin banyak fenomena sosial di masyarakat, terkait dengan perlindungan terhadap masyarakat adat, justru semakin memperlihatkan lemahnya perlindungan negara terhadap masyarakat adat, khususnya dalam hal perlindungan hukum. Betapa publik dikejutkan ketika mendengar kasus Mbok Minah,[5] kasus pembakaran rumah warga adat Semende Agung di Bengkulu,[6] penangkapan warga suku Sawai di Halmahera Tengah dan masih banyak lagi kasus-kasus yang menunjukkan bahwa dalam kenyataan di lapangan bahwa telah muncul konflik antara masyarakat adat dengan negara.
Di bawah logika sentralisme yang telah ditanamkan oleh kolonialisme secara terstruktur dan masif, semakin menguatkan akulturasi tradisi hukum sipil dimana proses pembuatan hukum sepenuhnya berada di tangan institusi negara. Dengan adanya sentralisme hukum tersebut, akhirnya muncul ideologi baru yang menekankan bahwa hukum seharusnya dilaksanakan sepenuhnya oleh aparat negara secara formal, sementara hukum yang ada di luar organisasi negara akan diabaikan karena keberadaannya yang tidak dapat diterima.[7] Belum ditambah lagi dengan kuatnya arus globalisasi yang semakin berusaha menembus dimensi ruang dalam kehidupan bermasyarakat yang sebelumnya tersekat oleh batas-batas teritorial suatu negara. Era modernitas yang tinggi tersebut menuntut negara turut serta secara aktif dan sungguh-sungguh untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang vis a vis berhadapan dengan (i) warisan tradisi hukum sipil yang bersifat sentralisme dan (ii) modernitas masyarakat yang sangat kental akan muatan liberal-kapitalis. Mengapa demikian? Dalam era globalisasi ini, negara harus mengendalikan perubahan/perkembangan sosial-budaya yang cepat di masyarakatnya dengan cara menjadi penyeimbang (balancing) antara tradisi lokal asli yang harus dipertahankan dan tradisi dari luar (asing) yang baru datang yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sebagaimana terkristalisasi dalam Pancasila. Karena Giddens telah memberikan peringatan bahwa perubahan sosial yang cepat itu ibarat panser raksasa (juggernaut) yang dapat melaju dengan kuat dan kencang, namun akan mengantarkan kita jatuh ke dalam jurang dan kehancuran apabila tidak dikendalikan.[8]
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan implementasi dan tantangan yang muncul dalam perlindungan hak masyarakat adat oleh hukum (negara) yang awalnya hanya dalam bentuk pengakuan dan penghormatan ke arah pelaksanaan kedaulatan adat. Tesis dalam tulisan ini adalah bahwa masih banyak fenomena yang menunjukkan adanya pengabaian dan pelanggaran hak masyarakat hukum adat, padahal konstitusi telah memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan kepada masyarakat hukum adat, sehingga negara harus merumuskan aturan dan kebijakan (politik hukum) baru, tidak hanya dalam rangka pengakuan dan penghormatan saja, melainkan juga untuk pengembangan dan pelestarian masyarakat adat beserta dengan tradisi, budaya, dan hukum-nya.

HUKUM (NEGARA) DAN (MASYARAKAT) ADAT 
Apabila hendak membicarakan gejala hukum dengan segala aspeknya maka mau tidak mau harus disinggung terlebih dahulu mengenai masyarakat yang menjadi wadah dari hukum tersebut serta hubungan antara keduanya. Secara alamiah (natural) manusia yang merupakan mahkluk sosial berarti bahwa manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya yang kemudian membentuk suatu komunitas-komunitas sosial untuk melangsungkan hidupnya. Dalam kerangka sosialisasi tersebut, masing-masing individu kemudian disadarkan bahwa kehidupan di dalam masyarakat itu sebetulnya berpedoman pada suatu aturan atau norma atau kaidah yang oleh sebagian besar masyarakat dipatuhi dan ditaati serta dijadikan pedoman.[9] Hal inilah kemudian yang menarik perhatian para sosiolog untuk menjadikan hukum sebagai objek penelitian yang khusus memusatkan perhatiannya pada struktur sosial, proses-proses sosial, perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat-masyarakat tertentu. Hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut tertentu, sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi dan sebagainya.[10]
Modernisasi masyarakat telah mengakibatkan terjadinya perubahan paradigma berpikir yang dimotori oleh gerakan postpositivisme. Perkembangan demikian kemudian melahirkan model-model alternatif penalaran di luar model positivisme hukum, khususnya dalam ilmu-ilmu empirisme hukum seperti sosiologi hukum (Sosiology of Law),[11] sejarah hukum, dan antropologi hukum. Sosiologi hukum membuka mata para teoritisi dan filsuf hukum tentang eksisnya dimensi hukum yang hidup (living law), sehingga nilai-nilai kemanfaatan, sebagai salah satu tujuan hukum, menjadi penting diakomodasi dalam berhukum. Sejarah hukum dan antropologi hukum juga memberikan andil, antara lain, dengan memberikan tempat pada sumber-sumber alternatif hukum di luar hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sehingga hukum adat yang digali dari tradisi lokal terbukti telah memperkaya khazanah sumber hukum di semua negara. Berdasarkan penggalian nilai yang bersumber pada nilai yang hidup dalam masyarakat itu pula lahirlah Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa Indonesia yang digali dalam bumi Indonesia dan kalbu rakyat Indonesia.[12] Para pendiri bangsa (the founding people)[13] dalam diskursus pembuatan cetak biru (blue print) negara ini, sadar bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia yang telah eksis di masing-masing daerah tersebut akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka bhineka tunggal ika. Hal tersebut, yang salah satunya, kemudian  menjadi alasan kuat mengapa the founding people memutuskan bentuk negara kita adalah negara kesatuan (bukan federal).[14]
Dalam kenyataannya, hukum harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki validitas polisentris,[15] validitas hukum tidak hanya terbatas pada tindakan, aturan, dan keputusan pengadilan, di mana peran negara tidak dapat dihindari (seperti biasa ditemukan dalam logika realisme hukum), tetapi harus diperluas mencakup norma-norma sosial apa pun yang teramati, diciptakan dan dipertahankan di dalam sebuah komunitas masyarakat. Inilah yang dapat dipahami dari tokoh-tokoh lama “aliran polisentris”[16] semisal Ehrlich, Malinowski, Gurvitch, Hoebel, Gluckman, Bohannan, Pospisil, dan lain-lain[17] yang kemudian mendorong lahirnya pandangan aliran pluralisme hukum (legal pluralism) yang merefer pada eksistensi beberapa aturan hukum dalam satu teritori yang sama.[18] Adanya pengembangan legal pluralism lebih lanjut memberikan pemahaman bahwa kebenaran fenomena hukum tidak hanya dipahami dalam hal keragaman bentuknya, tapi juga keragaman sumbernya. Sebuah sistem hukum diartikan sebagai suatu susunan (a body) yang diaplikasikan oleh sebuah entitas, serta juga kelompok entitas dalam sutu konteks yang spesifik. Kata “sistem” di sini meningkatkan presepsi kedinamisan, tetapi hukum sendiri secara internal sudah bersifat dinamis sejak awalnya.[19] Selain institusi negara (formal) yang memiliki keabsahan monopoli penggunaan kekuasaan, agama dan adat kebiasaan juga diterima sebagai produsen hukum yang masing-masing saling berdampingan dalam membentuk sebuah sistem hukum nasional. Oleh karena itu, penerimaan terhadap pluralisme hukum dalam negara yang multikultural, seperti Indonesia, tampaknya merupakan kesimpulan yang tidak dapat dihidari lagi. Bahkan negara pun harus mengakui adanya keterbatasan dari (sekaligus resistensi terhadap) hukum resmi, karena hukum agama dan adat kebiasaan telah dianggap sebagai faktor determinan dalam efektivitas hukum di masyarakat modern.

MASYARAKAT (HUKUM) ADAT DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A.       Pengaturan dalam Konstitusi
Secara singkat, masyarakat hukum adat menurut kelompok masyarakat yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri baik benda-benda materiil maupun immateriil.[20] Sedangkan di sisi lain, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State of 1933[21], salah satu unsur dari negara adalah adanya “a permanent population”, yaitu sekumpulan manusia yang mendiami teritorial tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh tata hukum nasional.[22] Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama maka secara tertutup atau terbuka akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama.[23] Sudah barang tentu, dalam kompetisi ini masyarakat hukum adat akan selalu kalah, karena harus berhadapan dengan entitas politik yang memiliki kekuatan (power) jauh lebih besar, yang dengan kekuatan tersebut bertujuan, antara lain, adalah untuk penguasaan terhadap seluruh rakyat dan sumber daya di dalam wilayahnya, serta dilengkapi dengan suatu pemerintahan yang didukung oleh aparat penegak hukum  didalamnya. Hal tersebut yang mendorong adanya perjuangan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat termasuk dalam konstitusi sebagai norma hukum tertinggi. Sejak konstitualisme menghendaki adanya positivisasi hak asasi ke dalam norma konstitusi sebagai salah satu elemen kesepakatan (consensus) yaitu tentang rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government)[24] maka pada saat itu pula hak-hak masyarakat adat mulai dibukukan dalam teks-teks konstitusi. Dalam pandangan HLA Hart, positivisasi hak-hak masyarakat merupakan upaya untuk mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan bernegara (secondary rules) dengan hukum asli yang ada di dalam komunitas masyarakat (primary rules).[25] Dengan mengikuti alur pikir positivisme hukum di atas maka keberadaan masyarakat adat beserta segala hak yang menyertainya sangat bergantung pada teks-teks hukum tertulis yang dibuat oleh institusi yang berwenang (negara). Mayoritas negara-negara dunia ketiga[26] yang bercorak agraris kemudian memasukkan pengaturan terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak ulayat di dalam konstitusinya. Indonesia sebagai salah satunya, dalam proses pembahasan komprehensif rancangan UUD asli,[27] meskipun merupakan konstitusi sementara yang kilat dan revolusioner,[28] sejak awal the founding people sadar bahwa negara Indonesia merupakan negara yang heterogen dan terdiri dari daerah yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri.[29] Hal tersebut yang kemudian mendorong dicantumkannya ketentuan menyangkut masyarakat adat dalam Pasal 18 UUD asli[30] yang secara tekstual malah termaktub dalam bagian Penjelasan pasal a quo,[31] walaupun pada pokoknya hanya mendeskripsikan heterogenitas daerah-daerah yang masih eksis dengan adatnya masing-masing tanpa secara tegas memberikan penafsiran mengenai bagaimana perlindungan (substansi) serta dalam bentuk peraturan apa ketentuan mengenai masyarakat adat tersebut harus diatur (formal). Ketentuan Pasal 18 UUD asli tersebut dinilai terlalu sederhana dan tidak jelas sehingga menjadi salah satu alasan dilakukannya amandemen terhadap Pasal 18 a quo di awal era reformasi bergulir.[32] Berdasarkan proses amandemen yang kemudian melahirkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945[33] tersebut, diharapkan semakin menguatkan dan menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dari sebelum-sebelumnya karena ketentuan yang semula hanya berstatus sebagai penjelasan tersebut telah “dinaikkan kelasnya” menjadi bagian dari batang tubuh konstitusi. Namun demikian, walaupun dinilai sebagai bentuk kemajuan, patut disayangkan bahwa proses pembahasan yang tidak hanya melibatkan para legislator handal di negeri ini, melainkan juga dengan melibatkan para ahli     Pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan di bawah Undang-Undang.

B.        Pengaturan dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dimulai dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang secara eksplisit memuat pengaturan mengenai masyarakat adat beserta (hukum) adatnya. Ketentuan yang demikian itu secara tekstual diatur dalam Pasal 5 UUPA[34] yang dalam literatur-literatur mengenai hukum agraria di Indonesia menjadi primadona khususnya bagi para pendukung hukum adat. Betapa tidak, dengan berlakunya  pasal a quo maka secara tidak langsung, bangsa Indonesia semakin percaya diri dalam memperkuat identitas asli bangsa Indonesia yang tercermin dari penerapan hukum adat sebagai hukum agraria nasional di tengah-tengah jaman dimana intervensi asing dengan modal yang tak kunjung henti mencoba membanjiri negara ini dengan keserakahan dan ketamakan akan penguasaan terhadap sektor sumber daya alam Indonesia.[35] Namun demikian, bak buah simalakama, cita-cita luhur untuk membangun konsep hukum agraria ala asli Indonesia itu juga berujung pada ketidakberdayaannya melawan arus kapitalisme dan liberalisme. Bahkan, UUPA telah menjadi alat untuk menghalalkan perampokan atas hak milik masyarakat adat, lagi-lagi dengan dalih bahwa negara memiliki hak monopoli atas pengertian “tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara serta peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”[36]
Hampir semua peraturan perundang-undangan yang memuat pengaturan mengenai masyarakat (hukum) adat menetapkan syarat bahwa keberadaan masyarakat adat harus dengan syarat yang masih diakui serta tidak bertentangan dengan kepentingan negara yang pemaknaannya merupakan monopoli dari negara sebagai penafsir tunggal. Misalnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,  Tidak ada batasan-batasan yang digunakan sebagai pedoman (guidance) penggunaan tafsir oleh negara (penguasa) tersebut yang bisa jadi ketika penguasa berpihak pada kepentingan pemodal, keberadaan pasal-pasal yang demikian malah justru menjadi justifikasi bagi penguasa untuk merampas hak masyarakat hukum adat.
Selain itu, banyak undang-undang lain yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai masyarakat adat, khususnya terkait dengan pengertian dari masyarakat adat tersebut. Misalnya dalam Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,[37] dan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.[38] Dari dua pengertian mengenai masyarakat hukum adat tersebut, muncul permasalahan selanjutnya, yaitu mengenai mekanisme pengakuan terhadap keberadaan (eksistensi) masyarakat hukum adat. Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah yang dimulai pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 serta dorongan dari TAP MPR No. IX/MPR/2011,[39] maka sejak itu pula kewenangan untuk memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat itu diserahkan kepada daerah masing-masing untuk menilainya dan dituangkan dalam produk peraturan daerah sebagaimana yang secara tegas tertuang dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.[40] Otonomi daerah sebagai respon terhadap tuntutan perubahan atas pola kebijakan negara yang sebelumnya sangat sentralistik diharapkan akan memberdayakan daerah secara lebih maksimal. Namun, permasalahan mengenai eksistensi masyarakat adat ini tidak menjadi selesai begitu saja dengan adanya peralihan kewenangan dari pusat kepada daerah tersebut. Dalam implementasinya, eksistensi masyarakat adat tersebut menjadi sangat bergantung pada belas kasih politik pemerintahan lokal yang ada di masing-masing daerah. Tidak adanya tuntunan yang menyamakan pemahaman akan mekanisme pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat ini menimbulkan konsekuensi bahwa apabila ada penguasa di suatu daerah yang secara politis melihat keberadaan masyarakat adat ini malah mengganggu pembangunan daerah atau tidak terdapat afiliasi terhadap kredo kepentingan politik yang sama dengannya maka penguasa akan selalu menutup mata terhadap keberadaan masyarakat adat di daerahnya dan pemerintah pusat pun malah akan kesulitan untuk melakukan intervensi terhadap daerah.
Namun demikian, tidak semua peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang menegasikan keberadaan masyarakat adat. Dorongan terhadap pembentuk Undang-Undang untuk lebih meningkatkan perhatian kepada masyarakat adat ini terus bergulir, baik dari internal pemerintah sendiri maupun dari organisasi-organisasi kemasyarakatan yang concern terhadap perlindungan dan pelestarian masyarakat adat di Indonesia. Hal tersebut nampak dalam ketentuan yang termuat dalam Penjelasan butir f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memberikan jaminan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, termasuk masyarakat adat. Begitu pula dengan pengecualian dalam pembayaran pajak terkait dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.[41]
Dengan demikian, Permasalahan utama yang ada dalam perlindungan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan ini adalah tidak terdapat ketentuan yang secara konkrit mewakili kepentingan masyarakat hukum adat. Ketentuan yang ada hanya bersifat mengakui dan menghormati masyarakat-masyarakat adat yang masih ada tanpa dijelaskan lagi mekanisme pengakuannya, sehingga pengakuan dan penghormatan yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang tersebut hanyalah sebuah kamuflase yang pelan-pelan dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan entitas-entitas yang bersifat tradisional dan sederhana itu dengan dalih adanya tuntutan modernisasi dan globalisasi yang sarat dengan nuansa kapitalis liberalistik, bukan malah melestarikan atau setidak-tidaknya melindungi eksistensi masyarakat tersebut. Atau secara a contrario, berdasarkan dalih untuk kepentingan umum berbasis paradigma pembangunanisme yang memihak pada golongan pemodal, baik dalam negeri maupun swasta, maka ketentuan-ketentuan yang memuat masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan tersebut hanya menjadi mitos bagi keberpihakan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.
Keadaan di awal era kemerdekaan sampai dengan tahun 1960, dimana hukum adat dijadikan landasan hukum nasional yang berpihak kepada kepentingan masyarakat karena situasinya harus berhadapan dengan hukum barat yang mendukung kepentingan modal asing, telah menjadi mitos. Konsep penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan lama yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat telah menjadikan negara sebagai pemeran utama dalam pembangunan nasional. Namun seiring dengan perkembangannya, dengan alibi bahwa negara tidak mampu mengelola sendiri sehingga membutuhkan bantuan dari sektor swasta (pemilik modal), sesungguhnya telah terjadi perubahan secara substantif yaitu negara dan para pemodal yang menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu, sudah tidak terkira pengorbanan masyarakat hukum adat yang telah dipinggirkan hak-haknya demi melayani kepentingan negara dan para pemodal tersebut. [42]
Sejak semula sikap pembentuk Undang-Undang sendiri menerima hukum adat tetapi dengan menetapkan persyaratan yang ambigu seperti halnya syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 UUPA di atas. Kekaburan itu menunjukkan adanya keraguan dan ketidakpastian, terutama negenai kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern. Hukum adat dianggap hanya cocok bagi masyarakat yang sederhana. Selain itu, sejarah kehidupan hukum adat di Indonesia tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal menimbulkan pandangan negatif tersendiri bagi pembentuk Undang-Undang dalam menggali nilai-nilai (hukum) adat yang telah lama hidup di masyarakat. Oleh karena itu, memang tidak semua hukum adat dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan hukum nasional namun juga tidak berarti bahwa hukum adat sama sekali tidak dijadikan pertimbangan utama dalam membentuk politik hukum nasional.

C.       Putusan Mahkamah Konstitusi
Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian Of Human Rights juga memberikan secercah harapan bagi para pencari keadilan khususnya yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat. Bermula dari diberikannya kedudukan hukum (legal standing)[43] bagi masyarakat hukum adat untuk mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, sehingga masyarakat hukum adat yang merasa hak konstitusional (termasuk pula hak adat) nya dilanggar oleh suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang dapat meminta keadilan kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, lagi-lagi masih juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu[44] terlebih dahulu agar kesatuan masyarakat hukum adat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi karena tidak semua masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan hukum dalam pengujian Undang-Undang. Walaupun terkesan berat bagi sebuah masyarakat yang tradisional dan masih sangat sederhana, namun penulis berharap dengan meningkatnya taraf kehidupan manusia, maka masyarat hukum adat pun dapat “melek hukum” dan mengerti akan bagaimana cara mempertahankan hak konstitusionalnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor  55/PUU-VIII/2010[45] telah mencoba menggali dan menemukan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dengan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum frasa “penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan pernundang-undangan” dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan beserta Penjelasannya dan ketentuan pidana yang menyertainya. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa:[46]
Masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik sangatlah beragam sehingga penyelesaiannya seharusnya menurut pertimbangan-pertimbangan keadaan yang berbeda: kapan munculnya persoalan tersebut?; apakah pendudukan tanah tersebut merupakan cara memperoleh tanah menurut hukum adat?; apakah pendudukan tersebut karena keadaan darurat telah diijinkan oleh penguasa?; apakah pendudukan tersebut disebabkan batas wilayah penguasaan secara hukum adat dengan wilayah yang dikuasai langsung oleh negara tidak jelas?. Kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antara wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan; Dengan demikian penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto. Artinya seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah. Adapun pemberian hak-hak baru dalam bentuk hak guna usaha atau hak pakai berdasarkan ipso jure, yang mendasarkan diri pada ketentuan perundangundangan.”
Selain itu, dalam perkara Nomor 35/PUU-X/2012[47] mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Mahkamah Konstitusi juga berperan dalam melindungi hak masyarakat hukum adat. Pada pokoknya, terdapat 2 (dua) permasalahan utama yang harus dijawab oleh Mahkamah, pertama, mengenai hutan adat dan kedua mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat. Putusan itu mengabulkan permohonan berkaitan dengan hutan adat, namun menolak permohonan untuk menghapuskan syarat-syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat yang terdapat di dalam UU Kehutanan. dalam pertimbangannya, menurut Mahkamah Konstitusi, UU Kehutanan yang selama ini memasukan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan merupakan pelanggaran konstitusi. Peryataan bahwa selama ini telah terjadi pengabaian semestinya membuat pemerintah semakin sadar untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat yang selama ini ‘dirampas’ atau diabaikan. Selain itu, hutan adat dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara kemudian dimasukan sebagai bagian dari kategori hutan hak.
Dalam pertimbangan hukum selanjutnya, terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat hubungan hukum antara subjek hukum dengan hutan. Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Kehutnan telah memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari slah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:
 “Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan.”
Perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat adat itulah yang juga menjadi dasar bagi MK untuk menyatakan bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hak masyarakat adat atas hutan. Selain itu, prinsip ini juga mempertegas status hutan yang terdiri dari hutan negara, hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Prinsip ini merupakan prinsip penguasaan vertikal dimana pihak yang menguasai tanah maka dia juga menguasai hak-hak yang ada di atas tanah.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi menolak dalil permohonan Pemohon terkait dengan permasalahan mengenai pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat adat. Inilah yang sekaligus menjadi kritik oleh penulis bagi lembaga pengawal konstitusi ini. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa masyarakat adat merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Keberadaan masyarakat adat haruslah tunduk kepada batasan-batasan yang ditentukan di dalam konstitusi antara lain masyarakat adatnya masih ada, selaras dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dimaknai bahwa keberadaan masyarakat adat bukan untuk memisahkan diri dari republik Indonesia, serta pengaturan terkait subjek hukum masyarakat adat, kriteria dan tata caranya diatur berdasarkan Undang-Undang. Seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan kondisional bersyarat (conditionally constitutional) dengan mempertimbangkan bahwa masalah utama yang belum terpecahkan sampai saat ini adalah mekanisme pengakuan bagi masyarakat hukum adat, serta kedudukannya dalam hukum positif di Indonesia. Karena apabila mengikuti konstruksi peraturan perundang-undangan yang sudah ada saat ini, maka mekanisme tersebut diserahkan kepada daerah dalam bentuk peraturan daerah yang, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat harus dikonstruksikan dalam kebijakan affirmative action, karena sekalipun pembangunan fisik telah menjadi bagian dari kegiatan keseharian masyarakat Indonesia, namun dibutuhkan pedoman (guidance) yang mengawasi dan mencegah segala bentuk penindasan terhadap kaum masyarakat yang dalam posisi kurang menguntungkan. Dan segala upaya yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya tersebut masih dalam lingkup kewenangan konstitusi, dengan perkataan lain, masih dibutuhkan pemahaman dan kemauan dari para pembentuk Undang-Undang dan penegak hukum untuk menindaklanjutinya agar segera terwujud suatu tatanan baru dalam bidang penegakan hak masyarakat hukum adat yang lebih menjamin kepastian hukum dan keadilan sesuai dengan konstitusi.

PENUTUP 
A.      Kesimpulan
Carut marutnya tata perundangan di negara kita ternyata sangat berimbas pada perlindungan hak masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang sangat kental dengan kehidupan tradisional dan sederhana dipaksa untuk masuk ke arena modernisasi untuk berhadapan dengan kuatnya arus globalisasi yang bernuansa kapitalis-liberalistik. Dalam keadaan yang demikian, negara yang diharapkan mampu menjadi “wasit” yang adil dalam pertarungan tersebut malah bersikap membela salah satu pihak. Negara memang dalam posisi memilki keinginan (political will) untuk terjun langsung menjadi “wasit” dengan menentukan aturan main dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan mengenai masyarakat hukum adat. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaannya, “kepemimpinan wasit” di lapangan sangat berpihak pada para pemilik modal dengan dalih untuk semata-mata kepentingan umum. Era otonomi yang meningkatkan peran daerah untuk mengelola daerahnya juga belum menyelesaikan masalah perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat, karena malah akan digantungkan pada politik lokal yang sarat dengan kepentingan masing-masing penguasa di daerah. Selain itu, uapay yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya masih dalam rangka menyediakan “gerbang” akses terhadap perlindungan hak masyarakat hukum adat. Sedangkan dalam implementasinya masih dibutuhkan kebijakan dari stakeholders untuk melaksanakannya.
B.       Saran
Dengan demikian, diperlukan formulasi lebih lanjut dalam hal peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kedudukan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang tidak hanya bersifat formal, melainkan lebih mengedepankan sisi substasinya, apakah sudah mengandung rasa keadilan, kepastian ataukah kemanfaatan? Sehingga menurut hemat penulis, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat di Indonesia yang secara khusus akan mengatur mengenai kedudukan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Selain itu, karena belum optimalnya perlindungan dalam hukum positif di Indonesia maka peran para penegak hukum khususnya hakim menjadi sentral dalam menghadapi masalah-masalah yang terkait langsung dengan masyarakat hukum adat dengan cara menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sesuai dengan semangat menghidupkan "the living law" sejalan dengan yang digaungkan oleh konseptornya, Eugen Ehrich.




[1]     Dominasi era modern yang secara tradisional menekankan pada semangat positivisme ala Auguste Comte, membawa dampak yang luar biasa kepada ilmu hukum itu sendiri. Hukum telah terbiasa dipersepsikan secara mekanistis, sebagai sarana yang objektif dan stabil. Hal ini di satu sisi akan menjamin nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain, juga menggerogoti nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Untuk lebih memperjelas perbandingan antara era modern dengan era postmodern, lihat Akhyar Yusuf Lubis, Postmodernisme Teori dan Metode, 2014, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 9-14.
[2]     Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, 2013, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 55.
[3]     Penekanan pada perbedaan, keberagaman, anti-esensialitas ini sebagai cara berpikir yang berbeda dari cara berpikir yang mengutamakan universalitas, kesatuan dan esensialitas yang sangat dominan pada paradigma modern.
[4]     Akhyar Yusuf Lubis, Ibid, hlm. 15.
[5]     Kasus nenek Minah (50 tahun), warga Desa Darma Kradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, sempat menghebohkan panggung hukum (pidana) di negeri ini lantaran diancam hukuman 7 tahun penjara (pasal 362 KUHP tentang Pencurian) karena dituduh mencuri 3 (tiga) buah biji kakao yang sudah jatuh dari pohonnya di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Padahal kebiasaan atau budaya masyarakat di sana menganggap bahwa mengambil kakao yang sudah jatuh dari pohonnya adalah hal yang biasa dan bukan merupakan perbuatan tercela. Akhirnya ia divonis hukuman percobaan penjara 1 bulan 15 hari oleh majelis hakim.
[6]     Kasus pengusiran masyarakat adat yang tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Suku Marga Semende oleh Polisi Hutan pada operasi gabungan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada Desember 2013 lalu karena dianggap sebagai perambah hutan yang dilindungi oleh negara, kendati faktanya, suku ini sudah beranak pinak sejak status taman nasional ini belum disandang oleh Bukit Barisan pada tahun 1982 silam.
[7]     Ratno Lukito, Sacred and Secular Law: A Study of Conflict and Resolution in Indonesia yang diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dengan judul Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, 2008, Tangerang, Pustaka Alvabet, hlm. 149.
[8]     George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory, 6th Edition diterjemahkan oleh Alimandan dengan judul Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana, hlm. 552.
[9]     Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 2007, Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 2.
[10]    Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, 2010, Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 1.
[11]    Secara historis, di benua Eropa telah tumbuh satu cabang sosiologi yang disebut dengan sosiologi hukum (Sosiology of Law), sedang di Amerika Serikat yang sangat cenderung menunjukkan penelitian pada masalah praktis dari tata tertib hukum, telah tumbuh pula satu ilmu hukum sosiologis hukum (Sociological Jurispurdence).  Lihat Alvin S. Johnson, Sosiology of Law, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora dengan judul Sosiologi Hukum, 2006, Jakarta, PT. Rineka Cipta, hlm.1.
[12]    Lihat pidato Bung Karno pada penutupan seminar Pancasila tanggal 20 Februari 1959 di Yogyakarta dalam Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, 2006, Yogyakarta, Media Pressindo, hlm. 349.
[13]    Meminjam istilah yang digunakan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD yaitu “founding people” karena penulis sepakat bahwa perjuangan dalam upaya memerdekakan serta memberikan landasan yang kokoh bagi Negara Indonesia adalah dilandasi oleh semangat, cita-cita dan pemikiran seluruh elemen bangsa saat itu yang tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh (tidak hanya laki-laki/bapak-bapak) yang berperan aktif menyusun struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelang datangnya hari kemerdekaan yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juncto Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga terdiri atas tokoh perempuan seperti Maria Ulfa Santoso dan Ny. R. S.S Soenarjo Mangoenpoespito.
[14]    Menurut M.Yamin, bentuk negara kesatuan diperlukan untuk memperkuat Indonesia yang dimerdekakan dengan jalan revolusi, federalisme hanya akan melemahkan Indonesia.M.Yamin juga mengungkapkan bahwa ide negara kesatuan sudah muncul sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, karena telah ada kebulatan tekad seluruh pemuda Indonesia tentang adanya satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Hal tersebut yang kemudian disepakati dalam rumusan konstitusi Indonesia dan tetap dipertahankan dalam proses amandemennya.
[15]    Retno Lukito, Op.cit, hlm. 7.
[16]    Para penganut paham ini meyakini bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya fakta normative karena terdapat hukum-hukum lainnya selain hukum negara modern dan melahuir pandangan pluralistik mengenai hukum.
[17]    Ratno Lukito, Legal Pluralism in Indonesia: Bridging the Unbridgeable, 2013, New York, Routledge, hlm. 4.
[18]    James A. R. Nafziger, Robert K. Paterson, Alison D. Renteln, Cultural Law (International, Comparative, and Indigenous), 2010, Cambrigde University Press, hlm. 200.
[19]    Werner Menski, Comparative Law in a Global Perspective: The Legal System of Asia and Africa, 2nd Edition, 2006, Cambrigde University Press, hlm. 183.
[20]    B Ter Haar Bzn dalam Soerjono Soekanto, 2010, Op.cit, hlm. 93.
[21]    Pasal 1 konferensi internasional yang disahkan pada tanggal 26 Desember 1933 ini telah diterima dan dianggap sebagai unsur-unsur yang umum sebagai prasyarat adanya suatu negara menurut hukum internasional, menentukan bahwa negara harus memiliki unsur yang terdiri dari (i) a permanent population; (ii) a defined territory; (iii) a government; and (iv) a capacity to enter into relations with other States. Lihat Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, 2002, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 2.
[22]    Hans Kelsen, General Theory of Law and State yang diterjemahkan oleh H. Somardi, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, 2007, Jakarta, Bee Media Indonesia, hlm. 286.
[23]    Saafroedin Bahar dan Ruswiati Suryasaputra, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat (Hukum Adat) Berdasarkan UUD NRI, 2012, Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol. 8, hlm. 4.
[24]    William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, third edition, 1968,  sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, 2010, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 21.
[25]    HLA Hart, The Concept of Law, Second Edition, 1994, Oxford, Clarendon Press, hlm. 95.
[26]    Ada perbedaaan mendasar antara bangunan negara-negara di Eropa dengan dasar pembangunan negara-negara dunia ketiga. Menurut Roberto Mangabeira Unger, negara modern di Eropa dibangun di atas ambruknya tatanan sosial lama sekaligus sebagai upaya untuk menampung aspirasi liberal individual. Sedangkan negara-negara dunia ketiga merebut kemerdekaan dari kolonial untuk membuat negara baru. Oleh karenanya, bagi negara-negara dunia ketiga, tatanan sosial lama tidak benar-benar ambruk, melainkan tatanan itu menjadi dasar bagi pembangunan negara baru, salah satunya adalah hukum adat.
[27]    Penulis menggunakan istilah “UUD asli” untuk merujuk pada UUD 1945 yang disusun oleh the founding people paska-penjajahan, yang rancangannya disiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk kemudian disahkan oleh Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
[28]    Pembahasan UUD asli ini hanya dilakukan dalam waktu 20 hari kerja. Jelaslah bahwa prioritas para pendiri negara ini adalah bagaimana memiliki sebuah konstitusi minimalis, sekedar untuk memenuhi syarat dasar kemerdekaan Indonesia. Sifat sementara dari UUD asli a quo tersurat dalam ayat (2) Bab Aturan Tambahan UUD asli, yang mengharuskan dalam 6 (enam) bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD yang baru, yang lebih lengkap dan demokratis. Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, hlm. 48.
[29]    Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, 2007, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 8.
[30]    Pasal 18 UUD asli menyatakan, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
[31]    Penjelasan Pasal 18 UUD asli menyatakan, “Dalam  territoir  Negara  Indonesia  terdapat lebih kurang 250 zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti  desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang  mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”. Istilah zelfbesturendelandchappen merujuk pada daerah-daerah yang memang sejak semula telah memiliki sistem pemerintahan sendiri dan tetap eksis seperti kesultanan jogjakarta, sedangakan istilah volksgemeenschappen mengacu pada daerah-daerah adat seperti, antara lain, “desa” di Jawa dan Bali, “negeri” di Minangkabau, serta “dusun” dan “marga” di Palembang.
[32]    Pasca jatuhnya rezim otoriter Orde Baru, pelaksanaan amandemen konstitusi telah menjadi suatu keniscayaan. Proses amandemen ini dilakukan dalam 4 (empat) tahap yang masing-masing disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 November 2001, dan 10 Agustus 2002. Khusus mengenai proses perubahan dan penambahan terhadap Pasal 18 termasuk dalam tahap kedua (18 Agustus 2000) yang menghasilkan Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.
[33]    Pasal 18B ayat (2) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
[34]    Pasal 5 UUPA menyatakan, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
[35]    Keadaan dimaksud tergambarkan, salah satunya, menurut keterangan pemerintah sebagai jawaban atas pandangan Anggota DPR-GR tanggal 14 September 1960, ketika RUUPA dibahas, dikatakan bahwa, “Rancangan UUPA selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing dengan aparat-aparatnya yang mengadudombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri.” Lihat Boedi Harsono, Hukum Agrari: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 1991, hlm. 57.
[36]    Keharusan akan terpenuhinya persyaratan terhadap perlindungan masyarakat adat juga tercermin dalam Penjelasan Umum UUPA yang menyatakan, “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.”
[37]    Penjelasan Pasal 7 UU 18/2013 menyatakan, “Masyarakat  hukum  adat  adalah  masyarakat  tradisional  yang  masih terkait   dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk  pranata  dan  perangkat  hukum  adat  yang  masih  ditaati,  dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di   wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.”
[38]    Pasal 1 angka 6 UU 39/2014 menyatakan, “Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah, sumber daya alam yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
[39]    TAP MPR No. IX/MPR/2011 ditujukan untuk mendorong kembali adanya pembaruan sektor agraria dengan prisip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya alam Indonesia. [vide pasal 4 huruf j]
[40]    Pasal 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, “Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah.” Sedangkan Pasal 6 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.
[41]    Pasal 48 ayat (2) PP 65/2001 telah memberikan pengaturan bahwa tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan.
[42]    Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, 2012, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 136.     
[43]    Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007, tanggal 18 Juni 2008.
[44]    Selain harus membuktikan diri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Mahkamah Konstitusi berserta perubahannya, masyarakat hukum adat juga harus memenuhi 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana telah ditentukan Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya.
[45]    Perkara ini dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya karena Pemohon yang secara faktual berdomisili di wilayah perkebunan dan memiliki lahan di sekitar wilayah perkebunan sering kali terlibat konflik dengan perusahaan perkebunan dan dipidana karena telah masuk ke perkebunan tanpa izin pemiliknya (perusahaan).
[46]    Lihat bagian Pendapat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010, bertanggal 19 September 2011, hlm. 102-103.
[47]    Perkara ini dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan karena sangat bertentangan dengan Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat sebagai kelompok masyarakat otonom disadari oleh dunia yang terbukti dari ketentuan yang ada dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dan dalam melaksanakan hak atas penentuan nasib sendiri, memiliki hak atas otonomi atau pemerintahan sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan internal dan lokal mereka, juga dalam cara-cara serta sarana dan prasarana untuk mendanai fungsi-fungsi otonom yang mereka miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar